Posted by: jamaldrahmanhorison | May 18, 2008

Surat untuk Presiden

Kepada Yth.

Presiden Republik Indonesia

Di Jakarta

Bapak Presiden yang terhormat, selamat tahun baru 2008. Sebagaimana biasa, setiap kali kita membuka kalender baru, kita selalu punya harapan baru. Demikianlah kita pun berharap, hal-hal yang belum diselesaikan tahun lalu, bisa diselesaikan tahun ini; hal-hal yang terabaikan di masa silam, akan kita perhatikan tahun ini; hal-hal yang terlupa di masa lalu, akan kita ingat kembali tahun ini. Maka, kita berharap tahun baru ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Amien.

Melalui surat ini, izinkan saya menyampaikan informasi perihal bahasa dan sastra dalam hubungannya dengan negara lain, yang saya terima dari Bertold Damshauser, dosen sastra Indonesia pada Universitas Bonn, Jerman (saya sangat berterima kasih kepada Bertold Damshauser atas informasi ini). Maksud saya sesungguhnya adalah menyampaikan informasi ini kepada khalayak, dengan harapan ada di antara mereka yang terketuk dan terdorong untuk memainkan peranan di dalamnya. Sebenarnya saya terlambat mendengarnya. Tapi informasi itu mengejutkan. Mengingat informasi tersebut pada hemat saya sangat penting, dan saya menduga kuat tak banyak khalayak yang tahu, tanpa bermaksud mendahului Bapak, sekali lagi izinkan saya menyampaikannya kepada khalayak umum.

Peristiwa itu terjadi pada tanggal 28 Oktober 1996. Dan tanggal itu tampaknya bukan kebetulan.

Pada hari itu di Jakarta, pada jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di Hotel Hilton, Kanselir Jerman Helmut Kohl —yang mengadakan kunjungan selama 3 hari di Indonesia— berpidato:

Kami (Presiden Soeharto dan Kanselir Kohl –penulis) akan membentuk sebuah Komisi Bersama, yang bertugas untuk menyebarkan dan memperluas pengetahuan kita mengenai kesusastraan dan bahasa masing-masing. Secara konkret hal itu berarti, bahwa kita bersama-sama akan berusaha untuk lebih memperkenalkan karya sastra Indonesia dan Jerman, yaitu dengan saling menerjemahkan karya-karya sastra kedua negara. Dan dalam rangka itu kita juga perlu berusaha, agar disusun kamus-kamus Indonesia-Jerman dan Jerman-Indonesia yang modern dan lengkap. Saya kira benar-benar sudah waktunya untuk mengerjakannya.

Ya, Presiden Indonesia Soeharto dan Kanselir Jerman Helmut Kohl sepakat untuk membentuk sebuah komisi bersama untuk sastra dan bahasa. Dan hari itu adalah Hari Sumpah Pemuda, dimana kita antara lain menegaskan dan menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Komisi itu pun dibentuk secara resmi pada 25 September 1997 di gedung Kedutaan Besar Republik Federal Jerman (RFJ) di Jakarta. Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra namanya. Atas undangan Duta Besar Jerman untuk Indonesia, para pendiri Komisi yang hadir adalah pejabat yang mewakili lembaga negara, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Departemen Luar Negeri RI, Kementerian Luar Negeri RFJ, Kedutaan Besar RI di Jerman, Kedutaan Besar RFJ di Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Jakarta, dan Goethe-Institut Jakarta. Di samping itu, hadir pula dua orang ahli yang tidak mewakili lembaga, yaitu Bertold Damshauser (Jerman) dan Ramadhan KH (Indonesia, kini almarhum). Keduanya dijadikan anggota resmi Komisi.

Acara pembentukan Komisi itu dilanjutkan dengan sidang pertama. Pada intinya sidang membahas beberapa program untuk mencapai tujuan Komisi. Sayangnya, sidang itu tidak menghasilkan keputusan resmi menyangkut program Komisi. Meskipun demikian, untuk mencapai tujuan Komisi, pihak Jerman mewujudkan penyusunan Kamus Indonesia-Jerman, menerbitkan brosur tentang Komisi, dan menyelenggarakan acara Malam Puisi Indonesia-Jerman di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Agustus 1998.

Dalam perkembangan selanjutnya, pihak Jerman setidaknya telah menerbitkan 4 buku Seri Puisi Jerman dalam dwibahasa Jerman-Indonesia, diterjemahkan oleh Bertold Damshauser dan Agus R. Sarjono, diterbitkan oleh majalah Horison. Yaitu Padamkan Mataku karya Rainer Maria Rilke (2003), Zaman Buruk bagi Puisi karya Bertold Brech (2004), Candu dan Ingatan karya Paul Celan (2005), dan Satu dan Segalanya karya Johann Wolfgang von Goehte (2007).

Dan pihak Indonesia?

Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI melaksanakan sidang ke-2 Komisi pada tanggal 26 Agustus 1998. Pihak Jerman diwakili oleh pejabat Kedubes RFJ dan Goethe-Institut, sedangkan Indonesia diwakili antara lain oleh Dirjen Kebudayaan Depdikbud, Dirjen Seni dan Budaya Deparsenibud, dan Direktur Hubsosbud Deplu (Bapak Presiden dan pembaca yang terhormat, demikianlah menurut Bertold Damshauser instansi pemerintah yang mewakili Indonesia dicatat sebagai akronim dalam Berita Acara Sidang dari Sekretariat Ditjen Kebudayaan). Keseriusan Indonesia tak hanya terlihat dari hadirnya pejabat dari berbagai kementerian, melainkan juga dengan dibagikannya Kata Sambutan Presiden Republik Indonesia B.J. Habibie kepada peserta sidang.

Dalam Kata Sambutan bertarikh 24 Agustus 1998 itu, Presiden B.J. Habibie antara lain mengatakan,

….

Saya percaya pembentukan komisi bersama ini dapat memajukan leksikografi Indonesia dan Jerman serta penerjemahan timbalik balik dalam bidang sastra. Kemajuan leksikografi dan pengetahuan timbal balik tentang sastra, merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi peningkatan hubungan antara Jerman dan Indonesia….

Saya berharap Sidang ke-2 Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra ini dapat menghasilkan suatu bentuk nyata bagi upaya peningkatan hubungan kedua bangsa dan negara kita dalam bidang kebudayaan.

Kepada semua peserta sidang, saya ucapkan selamat bertugas. Semoga berhasil dan sukses.

Sidang itu berhasil dan sukses mengambil keputusan penting. Sebuah panitia dibentuk dengan susunan sebagai berikut: Pelindung: Presiden RI dan Kanselir Jerman; Pengarah: Dirjen Kebudayaan dengan tim anggota, dan Dubes Jerman untuk RI (angggota: Mr. Damshauser); Pelaksana: Puspinbangsa, BT. Balai Pustaka, Dirhunsosbud/ Kemlu Jerman, Goethe-Institut.

Di samping itu, sidang menyepakati beberapa program kerja, antara lain penerjemahan sastra baik klasik maupun modern, penyusunan kamus, pembentukan bank data leksikografi yang dapat diakses melalui internet, penerjemahan antologi sastra Jerman dan antologi sastra Nusantara klasik, dan brosur yang memuat pidato Presiden B.J. Habibie dan Kanselir Kohl akan segera dicetak.

Bagaimana realisasi program-program tersebut? “Tidak satu pun dari rencana-rencana mulia itu diwujudkan,” tulis Bertold Damshauser dalam makalah yang disampaikannya pada Seminar Internasional Kesastraan di Jakarta, 19-20 November 2007. “Bahkan brosur dengan pidato Presiden dan Kanselir, para pelindung Komisi itu, tidak jadi dicetak.”

Itulah sebabnya, Bapak Presiden, saya merasa perlu menyampaikan ini kepada khalayak. Barangkali ada di antara pembaca yang bersedia dengan ikhlas menyokong Komisi tersebut. Sebuah Komisi dibentuk (secara resmi oleh dua negara langsung oleh kedua pimpinan tertinggi dan melahirkan organ resmi pula), lalu sidang-sidang tentang Komisi sudah dilakukan oleh instansi terkait kita dan menghasilkan sejumlah keputusan penting, namun Komisi itu tidak bekerja juga. Apa pendapat Bapak?

Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra baru satu kasus dari kemungkinan dibentuknya komisi sejenis bersama negara-negara lain.

Kita ingin Indonesia dikenal juga lewat bahasa dan sastra sebagai produk kebudayaan-aksara modern. Kita memang mewarisi masa silam kita yang agung, namun bahasa dan sastra akan menunjukkan bahwa kita juga hidup dan bergerak dinamis dalam masa kini dan masa depan kita. Adalah penting mempromosikan Indonesia misalnya dengan kesenian tradisi kita yang kaya dan eksotik bagi dunia internasional. Tetapi yang tak kalah penting adalah mempromosikan Indonesia sebagai negara berkebudayaan-aksara modern, apalagi kepada negara-negara berkebudayaan-aksara dengan budaya baca-tulis yang baik dan maju. Kiranya tak perlu dikemukakan lebih jauh tentang pentingnya Komisi itu, baik dari sudut kepentingan kerjasama kebudayaan, hubungan bilateral, maupun pariwisata.

Bapak Presiden dan pembaca yang terhormat, selamat tahun baru. Sebagaimana biasa, setiap kali kita membuka kalender baru, kita selalu punya harapan baru. Demikianlah kita pun berharap, hal-hal yang belum diselesaikan tahun lalu, bisa diselesaikan tahun ini; hal-hal yang terabaikan di masa silam, akan kita perhatikan tahun ini; hal-hal yang terlupa di masa lalu, akan kita ingat kembali tahun ini. Dan, harapan hanya agar tahun baru ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Amien.

Bapak Presiden, selamat bekerja. Sukses selalu. Jangan lupa jaga kesehatan. Jangan sampai terlambat makan.

Salam hangat dari saya,

Jamal D. Rahman


Responses

  1. kalau soekarno mengatasnamakan dirinya untuk negara. lantas siapa yang akan mengikutinya saat ini?
    surat ini?


Leave a comment

Categories